Pages

Wednesday, 1 July 2020

"EXSODUS PELAJAR DAN MAHASISWA PAPUA SE - INDONESIA MASIH BERTAHAN DI POSKO UMUM, JAYAPURA"

Rasisme bukan sekadar tindakan diskriminatif secara manasuka. Dalam pelbagai wujudnya, rasisme adalah keyakinan struktural dan sistemik bahwa kelompok-kelompok manusia tertentu lebih rendah derajatnya.

Dalam kasus Indonesia dan Papua, ekspresi rasisme tak sebatas serangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tanggal 16-17 dan kota-kota lain di Indonesia, bukan juga sekadar olok-olok yang menyamakan orang dengan "monyet".

Rasisme terhadap orang Papua tampil dalam banyak wajah, dari kelangkaan guru dan dokter di banyak daerah di Papua hingga proyek-proyek pembangunan (termasuk jalan dan jembatan) yang lebih menguntungkan pendatang Indonesia ketimbang orang asli Papua.

Rasisme juga terlihat dari penggambaran personel militer Indonesia sebagai "pekerja kemanusiaan" alih-alih pasukan bersenjata, hingga penggambaran orang Papua sebagai "pemberontak" berbahaya yang membawa penderitaan bagi rakyat Papua sendiri.

Rasisme muncul pada diri orang Indonesia yang memakan mentah-mentah narasi besar bikinan para pejabat negara, orang-orang Indonesia yang menutup telinga dari suara-suara orang Papua dan menyebut kisah-kisah orang papua sebagai "provokasi". Rasisme hadir dalam sikap orang Indonesia terhadap orang Papua yang seringkali dilandasi belas kasihan ketimbang solidaritas.

Rasisme juga muncul dalam pelabelan orang Papua sebagai "orang bodoh", "pemabuk", "kasar", "monyet dungu" yang menjalani hidup bak mop Papua yang patut kita ditertawakan. Kita lupa bahwa mop Papua, lelucon-lelucon khas ini, adalah cara orang Papua menertawakan kekerasan brutal yang mereka alami, lengkap dengan logika kekuasaan dan dominasi kolonial yang menyertainya.

Setelah kejadian di Surabaya, orang Papua mengubah olok-olok "monyet"—dari semula merendahkan kemanusiaan menjadi seruan untuk bertindak. Dari sana, orang-orang Papua di Jayapura dan Manokwari turun ke jalan untuk melawan dehumanisasi atas diri mereka dan mengutuk rasisme Indonesia yang terang-terangan.

Tekanan besar ini rupanya cukup mampu memaksa Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk minta maaf. Meskipun disambut baik, permintaan maaf ini hanya awal dari kerja-kerja berat melawan prasangka orang Indonesia terhadap orang Papua dan menghabisi rasisme.

Orang Papua tak perlu diselamatkan. Orang Paua lebih dari mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri. Yang Orang Papua butuhkan adalah solidaritas agar orang Indonesia, membersihkan hati nurani dan "MEMBERIKAN ORANG PAPUA MENENTUKAN NASIB SENDIRI."

Jika ada yang perlu diselamatkan bagi Orang Indononesia adalah "kemanusiaan" Indonesia itu sendiri. Orang Indonesia perlu menyelamatkan diri dari rasisme Indoonesia sendiri, dari rasa kemanusiaan Indonesia yang telah rusak, dari mental kolonial yang bersemayam dalam diri.

Kini bahwa banyak Orang Non Papua yang sadar dan mau mendukung semangat kami untuk mencari solusi penyelesaian masalah RASISME terhadap kami Orang Asli Papua yang di abaikan sampai saat ini.

Melihat Persoalan Rasialisme di Indonesia yang dilakukan oleh aparatus Negara, yakni TNI - POLRI, SAT POL PP dan Ormas Reaksioner pada saat 16 - 17 Agustus 2019 dan seluruh bentuk perlakuan hukum yang rasis, kami Exodus Pelajar dan Mahasiswa Papua Se - Indonesia yang terkonsolidasi di dalam Posko Umum Exodus Papua 2019 tetap eksis dan masih berada dalam bentuk perlawanan terhadap perlakuan Rasialisme tersebut.

Hidup Rakyat Papua
Hidup Mahasiswa Papua
Orang Papua bukan MONYETTTT
😇🌻✊✊✊✊
Sumber:https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=156724072601989&id=100531618221235

No comments:

Post a Comment